accestrade

Wednesday, 20 September 2017

Sejarah Pembangunan Masjid Demak Di Kesultanan Demak

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat mempercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajar ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro (Yulianingsih, 2010: 194). Sehingga dapat diketahui oleh kita bahwa pembangunan masjid Demak itu didirikan oleh Wali Songo. Dapat di pastikan bahwa Wali Songo memiliki peran penting dalam pembuatan masjid Demak pada saat itu. Sebelum membangun masjid Demak pastinya memiliki latar belakang mengapa masjid demak dibangun?. Dan tahapan-tahapan sebelum masjid tersebut di dirikan.
Pada pertengahan abad ke-15 demikian kata sejarah masjid Demak tatkala penduduk di Jawa belum banyak yang menganut agama Islam dan kebanyakannya adalah pengikut-pengikut agama Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali yang sembilan itu di pikirkan mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan penerangan agama. Pada waktu itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa (Aboebakar, 1955: 163). Para Wali yang kesembilan itu memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha.
Pada suatu hari para Wali itu berkumpul membicarakan soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam permusyawaratan itu telah di putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi (Demak), termasuk wilayah Jawa Tengah (Aboebakar, 1955: 163). Setelah para Wali ke sembilan itu memikirkan, mereka berencana untuk membangun sebuah Masjid yang berfungsi untuk menyiarkan agama Islam di Gelagah Wangi dan Masjid tersebut dinamakan Masjid Demak.
Bangunan masjid itu didirikan oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di topang seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh melaikan dari beberapa balok yang diikat menjadi satu. Tiang tersebut adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu di susun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan Wali-wali lainnya, pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh (Purwadi & Maharsi, 2005: 39).
Dalam kutipan tersebut menyatakan bahwa Masjid Demak di bangun oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam yaitu malam Jumat legi dalam tahun 1428. Konon kisahnya mengapa Masjid Demak dibangun pada malam hari karena supaya orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui hal tersebut, oleh karena itu pembangunan Masjid Demak dirahasiakan.
Disebutkan bahwa ada empat orang wali-wali itu yang membuat empat buah tiang pokok, soko guru namanya, yang berdiri sejak dari tanah sampai ke puncak masjid, wali-wali ini ialah Sunan Kalijaga, yang membuat soko guru sebelah timur laut, Sunan Bonang yang membuat soko guru sebelah barat-laut, Sunan Ampel yang membuat soko guru sebelah tenggara dan Sunan Gunung Jati yang membuat soko guru sebelah barat-daya. Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijago terkenal di Demak dengan nama soko tatal, karena dia terjadi dari kepingan-kepingan kayu kecil yang diikat-ikat hingga menjadi suatu tiang besar dan kuat yang menjulang panjang sampai ke atap (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam mendirikan tiang-tiang Masjid Demak tersebut sudah jelas bahwa ada empat wali yang memiliki tagas-tugas tersendiri. Diantara empat tiang itu yang paling terkenal ialah tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang berbentu dari kumbulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang diikat menjadi satu sampai menjadi tiang yang besar dan panjang. Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu kecil karena pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan tugasnya di saat itu pula Sunan Kalijaga lupa tidak menyediakan Batang kayu untuk membuat tiang Masjid, maka Sunan Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan dan potongan-potongan kayu kecil dan diikat hingga menjadi tiang yang besar dan kuat.
Soko-soko guru tersebut panjangnya 32 m dan besar garis menengahnya 1,45 m. Sekarang soko tatal tersebut, yang tatal aslinya dapat dilihat dengan jelas dari atas masjid, sudah di palut dan diberi berbingkai kawat supaya sama bentuknya dengan tiang-tiang yang lain (Aboebakar, 1955: 163). Sangat besar untuk sebuah tiang masjid yang terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang disatukan. Meskipun sekarang sudah direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan aslinya, namun di bagian atas masjid masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di atas lantai batu merah, berwarna sedikit keputih-putihan, yang masing-masing tidak lebih besar dari 40 x 20 cm dan tebalnya 15 cm (Aboebakar, 1955: 163). Bangunan Masjid Demak merupakan bangunan yang ada di atas lantai batu merah, batu merah tersebut juga berfungsi sebagai pondasi dari bangunan masjid itu.
Para wali-wali turut mengambil bagian dalam pembangunan masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Ampel. Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah wali-wali yang mengambil minat dalam hal ini dan yang memimpin usaha yang mendirikan masjid itu. Dalam sejarah masjid Demak kabarnya dua wali ini lah yang lebih besar pengaruhnya dan keramatnya. Dengan secara perincian disebutkan dalam Babat Demak bagaimana wali-wali ini mengatur pembagian pekerjaannya, sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan baik dan segala kesukaran dapat disingkirkan dalam masa-masa permulaan Islam di tanah Jawa itu (Aboebakar, 1955: 163).
Sultan Demak ke I dan Suana Kalijaga memiliki peranan yang sangat penting sesuai bagaimana yang dijelaskan di atas. Dan dapat disebut juga kedua wali tersebut adalah pimpinan dalam pembangunan masjid Demak pada saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang sempurna bagaimana cara pembagian pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Sejarah Demak menceritakan seterusnya menceritakan sebuah cerita yang aneh, yaitu tatkala menentukan arah kiblat masjid tersebut. Para wali berselisihan paham, ada yang mengatakan kurang ke barat, ada yang mengatakan kurang ke utara, sehingga sedemikian terjadilah perdebatan yang ramai. Konon yang dapat menjelaskan perselisihan ini ialah Sunan Kalijaga, yang dengan keanehan kekeramatannya berdiri di tengah-tengah para wali itu dengan secara luar biasa dengan tangan kirinya konon ia memegang Masjid Demak dan tangan kanannya dilambaikan memegang Masjidil Haram di Mekkah dan dengan demikian ditentukan arah kiblat dan diperlihatkan kepada hadirin untuk menjadikannya. Setelah arah kiblat itu dianggap sah oleh para wali maka Sunan Kalijaga melepaskan pula kedua masjid yang dipegangnya itu (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam cerita tersebut kita dapat memetik hal positifnya, yaitu pembangunan Masjid Demak tidak semudah yang dibayangkan. Pada saat itu pun masih belum ada peralatan-peralatan yang moderen, pembangunan tersebut masih sangat-sangat sederhana. Tetapi para Wali Songo tidak Berat hati untuk membangun Masjid tersebut karena semua itu untuk penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Mengenai soko serambi, yaitu tiang-tiang yang terdapat pada pendopo masjid, sebanyak delapan buah, menurut cerita berasal dari istana raja Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah Raden Patah, Sultan Demak ke-I, yang diangkut sesudah peperangan Majapahit – Demak Bintoro, dan dijadikan bahan-bahan pendirian Masjid Demak (Aboebakar, 1955: 163). Dengan adanya soko serambi atau tiang-tiang bagian luar, menambah nilai keindahan pada bangunan Masjid Demak.
Bukti-bukti sejarah tersebut terdapat di Museum Masjid Agung Demak, bangunan masjid ini berdiri sekitar abad ke-15 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari prasasti sekaligus petunjuk waktu Jawa (candrasengkala) yang terukir pada pintu utama yang ada di tengah masjid. Mengenai kapan masjid ini didirikan dapat dilihat di prasasti bergambar bulus (sejenis kura- kura). Hal ini sesuai dengan penanda waktu dengan arti  Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka yang terdapat dalam dinding mihrab bagian dalam. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka satu (1), kaki empat berarti angka empat (4), badan bulus yang bulat berarti angka nol (0), serta ekor bulus berarti angka satu (1). Dari petunjuk ini bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Namun, dalam prasasti itu yang tertulis di pintu utama terdapat kalimat  naga mulat salira wani artinya, dalam penanda waktu ini tertulis tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi atau tahun 887 Hijriyah. Petunjuk inilah yang akhirnya diyakini sebagai awal dibangunnya Masjid Agung Demak oleh para Wali Songo untuk mendukung penyebaran Islam di tanah Jawa. Sejak pertama kali didirikan, Masjid Agung Demak baru dipugar pertama kali oleh Raja Mataram Paku Buwono I, pada tahun 1710. Pemugaran ini dilakukan untuk mengganti atap sirap yang sudah lapuk. Perluasan besar-besaran untuk menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada 1504-1507. Pada masa itu, penyebaran agama Islam makin meluas di wilayah Demak. Sementara itu, pembangunan menara azan baru dilakukan pada Agustus 1932. Bangunan menara dengan kubah bergaya Melayu ini berkonstruksi baja. Pembuatan menara azan ini konon menelan biaya 10 ribu gulden.
DAFTAR RUJUKAN
Purwadi & Maharsi. 2005. Babad Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.

0 komentar:

Post a Comment