Masjid Agung Demak merupakan
salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang
sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa
Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat mempercayai masjid ini sebagai
tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan
sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk
beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajar ilmu-ilmu
Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai
monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan
Demak Bintoro (Yulianingsih, 2010: 194). Sehingga dapat diketahui oleh
kita bahwa pembangunan masjid Demak itu didirikan oleh Wali Songo. Dapat di
pastikan bahwa Wali Songo memiliki peran penting dalam pembuatan masjid Demak
pada saat itu. Sebelum membangun masjid Demak pastinya memiliki latar belakang
mengapa masjid demak dibangun?. Dan tahapan-tahapan sebelum masjid tersebut di
dirikan.
Pada pertengahan abad
ke-15 demikian kata sejarah masjid Demak tatkala penduduk di Jawa belum banyak
yang menganut agama Islam dan kebanyakannya adalah pengikut-pengikut agama
Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali yang sembilan itu di pikirkan
mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan penerangan agama. Pada waktu
itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa (Aboebakar, 1955: 163). Para Wali
yang kesembilan itu memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan agama
Islam ke seluruh pulau Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu kebanyakan
menganut agama Hindu-Budha.
Pada suatu hari para
Wali itu berkumpul membicarakan soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam
permusyawaratan itu telah di putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi
(Demak), termasuk wilayah Jawa Tengah (Aboebakar, 1955: 163). Setelah para Wali
ke sembilan itu memikirkan, mereka berencana untuk membangun sebuah Masjid yang
berfungsi untuk menyiarkan agama Islam di Gelagah Wangi dan Masjid tersebut
dinamakan Masjid Demak.
Bangunan masjid itu
didirikan oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di
topang seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya
tidak terbuat dari satu batang kayu utuh melaikan dari beberapa balok yang
diikat menjadi satu. Tiang tersebut adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga.
Rupanya tiang itu di susun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari
pekerjaan Wali-wali lainnya, pada malam pembuatan bangunan itu ia datang
terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh (Purwadi & Maharsi,
2005: 39).
Dalam kutipan tersebut
menyatakan bahwa Masjid Demak di bangun oleh para Wali bersama-sama dalam waktu
satu malam yaitu malam Jumat legi dalam tahun 1428. Konon kisahnya mengapa
Masjid Demak dibangun pada malam hari karena supaya orang-orang di sekitarnya
tidak mengetahui hal tersebut, oleh karena itu pembangunan Masjid Demak
dirahasiakan.
Disebutkan bahwa ada empat
orang wali-wali itu yang membuat empat buah tiang pokok, soko guru namanya,
yang berdiri sejak dari tanah sampai ke puncak masjid, wali-wali ini ialah
Sunan Kalijaga, yang membuat soko guru sebelah timur laut, Sunan Bonang yang
membuat soko guru sebelah barat-laut, Sunan Ampel yang membuat soko guru
sebelah tenggara dan Sunan Gunung Jati yang membuat soko guru sebelah
barat-daya. Soko guru yang dibuat oleh Sunan Kalijago terkenal di Demak dengan
nama soko tatal, karena dia terjadi dari kepingan-kepingan kayu kecil yang
diikat-ikat hingga menjadi suatu tiang besar dan kuat yang menjulang panjang
sampai ke atap (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam mendirikan
tiang-tiang Masjid Demak tersebut sudah jelas bahwa ada empat wali yang
memiliki tagas-tugas tersendiri. Diantara empat tiang itu yang paling terkenal
ialah tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang berbentu dari kumbulan-kumpulan
kayu-kayu kecil yang diikat menjadi satu sampai menjadi tiang yang besar dan
panjang. Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu kecil
karena pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan tugasnya di saat itu pula Sunan
Kalijaga lupa tidak menyediakan Batang kayu untuk membuat tiang Masjid, maka
Sunan Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan dan potongan-potongan kayu kecil
dan diikat hingga menjadi tiang yang besar dan kuat.
Soko-soko guru
tersebut panjangnya 32 m dan besar garis menengahnya 1,45 m. Sekarang soko
tatal tersebut, yang tatal aslinya dapat dilihat dengan jelas dari atas masjid,
sudah di palut dan diberi berbingkai kawat supaya sama bentuknya dengan
tiang-tiang yang lain (Aboebakar, 1955: 163). Sangat besar untuk sebuah tiang
masjid yang terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang disatukan.
Meskipun sekarang sudah direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan aslinya,
namun di bagian atas masjid masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di
atas lantai batu merah, berwarna sedikit keputih-putihan, yang masing-masing
tidak lebih besar dari 40 x 20 cm dan tebalnya 15 cm (Aboebakar, 1955:
163). Bangunan Masjid Demak merupakan bangunan yang ada di atas lantai batu
merah, batu merah tersebut juga berfungsi sebagai pondasi dari bangunan masjid
itu.
Para wali-wali turut
mengambil bagian dalam pembangunan masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan
Giri, Sunan Kudus dan Sunan Ampel. Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah
wali-wali yang mengambil minat dalam hal ini dan yang memimpin usaha yang
mendirikan masjid itu. Dalam sejarah masjid Demak kabarnya dua wali ini lah
yang lebih besar pengaruhnya dan keramatnya. Dengan secara perincian disebutkan
dalam Babat Demak bagaimana wali-wali ini mengatur pembagian pekerjaannya,
sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan baik dan segala kesukaran dapat
disingkirkan dalam masa-masa permulaan Islam di tanah Jawa itu (Aboebakar,
1955: 163).
Sultan Demak ke I dan
Suana Kalijaga memiliki peranan yang sangat penting sesuai bagaimana yang
dijelaskan di atas. Dan dapat disebut juga kedua wali tersebut adalah pimpinan
dalam pembangunan masjid Demak pada saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang
sempurna bagaimana cara pembagian pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Sejarah Demak
menceritakan seterusnya menceritakan sebuah cerita yang aneh, yaitu tatkala
menentukan arah kiblat masjid tersebut. Para wali berselisihan paham, ada yang
mengatakan kurang ke barat, ada yang mengatakan kurang ke utara, sehingga
sedemikian terjadilah perdebatan yang ramai. Konon yang dapat menjelaskan
perselisihan ini ialah Sunan Kalijaga, yang dengan keanehan kekeramatannya
berdiri di tengah-tengah para wali itu dengan secara luar biasa dengan tangan
kirinya konon ia memegang Masjid Demak dan tangan kanannya dilambaikan memegang
Masjidil Haram di Mekkah dan dengan demikian ditentukan arah kiblat dan
diperlihatkan kepada hadirin untuk menjadikannya. Setelah arah kiblat itu
dianggap sah oleh para wali maka Sunan Kalijaga melepaskan pula kedua masjid
yang dipegangnya itu (Aboebakar, 1955: 163).
Dalam cerita tersebut
kita dapat memetik hal positifnya, yaitu pembangunan Masjid Demak tidak semudah
yang dibayangkan. Pada saat itu pun masih belum ada peralatan-peralatan yang
moderen, pembangunan tersebut masih sangat-sangat sederhana. Tetapi para Wali
Songo tidak Berat hati untuk membangun Masjid tersebut karena semua itu untuk penyebaran
agama Islam di pulau Jawa.
Mengenai soko serambi,
yaitu tiang-tiang yang terdapat pada pendopo masjid, sebanyak delapan buah,
menurut cerita berasal dari istana raja Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah
Raden Patah, Sultan Demak ke-I, yang diangkut sesudah peperangan Majapahit –
Demak Bintoro, dan dijadikan bahan-bahan pendirian Masjid Demak (Aboebakar,
1955: 163). Dengan adanya soko serambi atau tiang-tiang bagian luar, menambah
nilai keindahan pada bangunan Masjid Demak.
Bukti-bukti sejarah tersebut terdapat di Museum Masjid Agung
Demak, bangunan masjid ini berdiri sekitar abad ke-15 Masehi. Hal ini dapat
diketahui dari prasasti sekaligus petunjuk waktu Jawa (candrasengkala) yang
terukir pada pintu utama yang ada di tengah masjid. Mengenai kapan masjid ini didirikan dapat dilihat di prasasti bergambar bulus (sejenis kura- kura). Hal
ini sesuai dengan penanda waktu dengan arti Sariro Sunyi Kiblating
Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka yang terdapat dalam dinding mihrab
bagian dalam. Gambar bulus terdiri
atas kepala yang berarti angka satu (1), kaki empat berarti angka empat (4),
badan bulus yang bulat berarti angka nol (0), serta ekor bulus berarti angka
satu (1). Dari petunjuk ini bisa disimpulkan, Masjid Agung Demak berdiri pada
tahun 1401 Saka. Namun, dalam prasasti itu yang tertulis di pintu utama
terdapat kalimat naga mulat salira wani artinya, dalam penanda waktu ini tertulis
tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi atau tahun 887 Hijriyah. Petunjuk inilah yang akhirnya diyakini
sebagai awal dibangunnya Masjid Agung Demak oleh para Wali Songo untuk
mendukung penyebaran Islam di tanah Jawa. Sejak pertama kali didirikan, Masjid
Agung Demak baru dipugar pertama kali oleh Raja Mataram Paku Buwono I, pada
tahun 1710. Pemugaran ini dilakukan untuk mengganti atap sirap yang sudah
lapuk. Perluasan besar-besaran untuk
menjadi masjid agung diperkirakan berlangsung pada 1504-1507. Pada masa itu,
penyebaran agama Islam makin meluas di wilayah Demak. Sementara itu,
pembangunan menara azan baru dilakukan pada Agustus 1932. Bangunan menara
dengan kubah bergaya Melayu ini berkonstruksi baja. Pembuatan menara azan ini
konon menelan biaya 10 ribu gulden.
DAFTAR RUJUKAN
Purwadi & Maharsi. 2005. Babad
Demak: Perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.
Soekmono, R. 1973. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Aboebakar. 1955. Sejarah Mesjid dan
amal ibadah dalamnja. Banjarmasin: Adil.
Yulianingsih, Tri Maya. 2010. Jelajah
Wisata Nusantara. Jakarta: Buku Kita.
Dewabrata, Entik Padmini. 2009. Tatanan
Baru Rangkaian Janur Gaya Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama
Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Rochym, Abdul. 1983. Masjid Dalam
Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.
0 komentar:
Post a Comment