Bahaya Binatang Sbg Sumber Virus |
Tim peneliti memperkirakan bahwa riset membutuhkan biaya lebih dari £4 miliar atau sekitar Rp 68 triliun, tetapi mengatakan uang ini masih kecil jika
dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan jika sebuah wabah betul-betul terjadi.
Peneliti mempublikasikan hasilnya dalam jurnal mBio.
Ian Lipkin, Direktur dari Pusat Infeksi dan Imunitas dari University of Columbia di Amerika Serikat mengatakan: "Apa yang kita bicarakan adalah tentang mendefinisikan berbagai macam keragaman virus pada mamalia, dan niat kami adalah, ketika kita mendapatkan informasi lebih lanjut, kita akan dapat memahami prinsip-prinsip yang mendasari faktor penentu risiko (munculnya pandemi). "
Hampir 70% virus yang menginfeksi manusia, seperti HIV, Ebola, dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS), berasal dari alam liar. Namun hingga kini, skala risiko masih sulit untuk diperkirakan.
Untuk menyelidikinya, peneliti di AS dan Bangladesh mengamati satu spesies kelelawar yang bernama, Musang Terbang (Flying Fox). Binatang ini membawa virus Nipah, yang jika terjangkit ke manusia bisa mengakibatkan kematian.
Dengan meneliti 1.897 sample dari kelelawar itu, peneliti berhasil melakukan penilaian seberapa banyak lagi patogen yang dibawa. Mereka menemukan hampir 60 jenis virus, yang kebanyakan belum diketahui sebelumnya.
Tim kemudian meramalkan kemungkinan angka ini untuk semua mamalia, dan menyimpulkan setidaknya ada 320.000 virus yang belum terdeteksi.
Lipkin mengatakan: "Tentu saja kita tidak bisa melakukan survei terhadap tiap binatang di planet ini, tetapi kita bisa memetakan sebaik mungkin menggunakan konsep yang disebut titik api (hotspot)."
Dia mengatakan pembuatan peta dengan hotspot ini akan membutuhkan waktu 10 tahun dengan dana jutaan dolar. Dana itu, lanjutnya, terlihat sangat besar, tetapi sebetulnya relatif sedikit dibandingkan biaya intervensi yang harus dilakukan jika pandemi terjadi.
Ide utamanya adalah mengembangkan sistem peringatan dini untuk mencegah munculnya wabah. Mencegah lebih murah daripada mengobati.
Sumber: national geographic.co
0 komentar:
Post a Comment