accestrade

Tuesday, 12 September 2017

PERTALITE Tak Sesuai untuk Kendaraan di Indonesia?

Dua hari yang lalu tepatnya Jumat (24/7/2015), beberapa SPBU di Indonesia yang ditunjuk, kedatangan “personil” baru. Setelah cukup lama dibuat menunggu sejak rumor kehadirannya, akhirnya PT Pertamina (Persero) meluncurkan BBM jenis baru bernama Pertalite. Jenis yang satu ini memoliki Ron (kadar octan) 90. Pertalite pun diklaim memiliki kualitas yang lebih baik dari Premium—walaupun masih di bawah Pertamax. Namun kemunculan Pertalite, nyatanya tetap memunculkan komentar disana-sini. Bahkan Pertalite disebut tak sesuai untuk kendaraan di Indonesia. Benarkah?
Pertalite Tak Sesuai untuk Kendaraan-di-Indonesia
Pernyataan tersebut, bukan tanpa dasar. Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel menjelaskan kendaraan di Indonesia umumnya butuh BBM dengan RON minimal 92. Jika kompresi yang makin tinggi, maka harus semakin tinggi juga RON yang dikonsumsi. Sementara itu, PERTALITE hanya berkekuatan RON 90. Cukup bisa membayangkan? Perhatikan apa yang dicontohkan oleh Safrudin berikut ini. Sepeda motor Honda Scoopy misalnya. Merk yang cukup banyak dipakai di Indonesia ini punya kompresi rasio 9,5:1. Sementara itu mobil LCGC dan MPV kelas 1.500 cc ke bawah rata-rata kompresinya 10:1. Bahkan, beberapa mobil menengah seperti Mazda punya kompresi yang terbilang tinggi, yakni 13:1. Kendaraan yang punya kompresi 9:1 saja, harus mengonsumsi BBM dengan RON mimal 92. Dengan begitu, maka praktis jika kompresinya makin tinggi, yaitu 10:1 ke atas idealnya menenggak bensin minimal RON 95. Dengan begitu jika dipaksakan, justru akan menimbulkan hal yang tidak diinginkan pada kendaraan.
“Jika dipaksakan dengan bensin yang tidak sesuai RON requirement-nya, kendaraan akan ngelitik (knocking),” jelas Ahmad Safrudin.
Ketika penggunaan Pertalite dipaksakan, konsekuensi pertamanya yang akan “dinikmati” pengendara adalah mobil atau motor yang tidak bertenaga. Hal ini dikarenakan, BBM dengan RON lebih rendah akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin dan bukan terbakar oleh percikan api busi. Setelah itu, masalah turunan yang terjadi adalah bensin lebih boros sekira 20 persen. Hal ini sangat masuk akal, karena BBM terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga, serta emisi yang lebih tinggi. Setelah itu, masalah terakhir adalah detonasi. Detonansi adalah proses pembakaran pada mesin yang tidak tepat pada waktunya. Hal ini menyebabkan kerusakan pada piston dan lain-lain karena efek self ignition.

0 komentar:

Post a Comment