Dua hari yang lalu tepatnya Jumat (24/7/2015), beberapa SPBU di
Indonesia yang ditunjuk, kedatangan “personil” baru. Setelah cukup lama
dibuat menunggu sejak rumor kehadirannya, akhirnya PT Pertamina
(Persero) meluncurkan BBM jenis baru bernama Pertalite. Jenis yang satu
ini memoliki Ron (kadar octan) 90. Pertalite pun diklaim memiliki
kualitas yang lebih baik dari Premium—walaupun masih di bawah Pertamax.
Namun kemunculan Pertalite, nyatanya tetap memunculkan komentar
disana-sini. Bahkan Pertalite disebut tak sesuai untuk kendaraan di
Indonesia. Benarkah?
Pernyataan tersebut, bukan tanpa dasar. Ahmad Safrudin, Direktur
Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel menjelaskan kendaraan di
Indonesia umumnya butuh BBM dengan RON minimal 92. Jika kompresi yang
makin tinggi, maka harus semakin tinggi juga RON yang
dikonsumsi. Sementara itu, PERTALITE hanya berkekuatan RON 90. Cukup bisa membayangkan? Perhatikan apa yang dicontohkan oleh Safrudin berikut ini.
Sepeda motor Honda Scoopy misalnya. Merk yang cukup banyak dipakai di
Indonesia ini punya kompresi rasio 9,5:1. Sementara itu mobil LCGC dan
MPV kelas 1.500 cc ke bawah rata-rata kompresinya 10:1. Bahkan, beberapa
mobil menengah seperti Mazda punya kompresi yang terbilang tinggi,
yakni 13:1. Kendaraan yang punya kompresi 9:1 saja, harus mengonsumsi
BBM dengan RON mimal 92. Dengan begitu, maka praktis jika kompresinya
makin tinggi, yaitu 10:1 ke atas idealnya menenggak bensin minimal RON
95. Dengan begitu jika dipaksakan, justru akan menimbulkan hal yang
tidak diinginkan pada kendaraan.
“Jika dipaksakan dengan bensin yang tidak sesuai RON requirement-nya, kendaraan akan ngelitik (knocking),” jelas Ahmad Safrudin.
Ketika penggunaan Pertalite dipaksakan, konsekuensi pertamanya yang
akan “dinikmati” pengendara adalah mobil atau motor yang tidak
bertenaga. Hal ini dikarenakan, BBM dengan RON lebih rendah akan
terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin dan bukan
terbakar oleh percikan api busi. Setelah itu, masalah turunan yang
terjadi adalah bensin lebih boros sekira 20 persen. Hal ini sangat masuk
akal, karena BBM terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga, serta
emisi yang lebih tinggi. Setelah itu, masalah terakhir adalah detonasi.
Detonansi adalah proses pembakaran pada mesin yang tidak tepat pada
waktunya. Hal ini menyebabkan kerusakan pada piston dan lain-lain karena
efek self ignition.
Tuesday, 12 September 2017
Home »
» PERTALITE Tak Sesuai untuk Kendaraan di Indonesia?
0 komentar:
Post a Comment