CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan
Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
- Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
- Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
- Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah
ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak
sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut
Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia,
dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di
halaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat
Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu
apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para
Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang
kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti
Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam
tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang
datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya
melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di
waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya,
hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka
menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada
jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang
penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua
dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat
makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk
mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu,
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab
dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah
masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu
dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi
arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran
Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya
itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa
Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di
kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni,
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam
bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa
bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya
perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh
dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan
bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf,
dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu
sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat
Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang
Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat
pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua
masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di
tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu
dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga
bulan.
Sebelum
masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum
terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid,
hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi
undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan
materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan
perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah
terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri
ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya,
yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan
lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak,
karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu.
Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang
ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara
langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui
kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan
ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu
berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana
ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah
banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya
disambut dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya
mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda
telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga
doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar
Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab
telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras
secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia
hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di
pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat
kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas
berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di
daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden
Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi
sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para
penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk
memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama
ini ada harimaunya.
Dengan
senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang
santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
Tetua
desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih
bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian
meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga
atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi
itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki
berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung
desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil
mengeluarkan suara khasnya.
Adanya
suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok
manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang
yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak
agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya
dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang
pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging
adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati
Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa
Majapahit.
Adipati
Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama
Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal
dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo
Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur
faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi
Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup
wajar sebagai petani biasa.
Sungguh
mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke
penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak
Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan.
Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap
tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena
itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki
Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya.
“Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami
diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat
merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat
apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri
Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku
tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua
orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama
kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat
Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk
berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika
hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng
Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera
lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri
pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”.
Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik
seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di
Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang
utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus
Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki
Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan
diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih
sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai
pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki
Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan
segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki
Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun
ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas
nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang
ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas.
Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu
ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu
mengirim utusan keempat lagi.
Walaupun
Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya
menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar
memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri
desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga
tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak
pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah
mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak
diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam
dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau
tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus
pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia
kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani.
Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki
Ageng Pengging.
Hal
ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri
Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki
Ageng Pengging ini.
Suasana
Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang
pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten
tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu
kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti
rumah penduduk lainnya.
Sunan
Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa.
Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap.
Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah
dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya
yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu
dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila
tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di
depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita
setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud
kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”.
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang
dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan
Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging
membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di
ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai
Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau
pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan
Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga
diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”, kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban
itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging
punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro
sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau
mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya.
Kasarnya pemberontak!
Bahwa
Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah
dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah
Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau
sudah meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau
anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau
anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang
aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan
kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop
sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar
yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu
adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga
Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan
Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata
apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng
Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi
itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati
tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan
mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”,
ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun
melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika
matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan
Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang.
Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju
Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak
menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati
di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu
pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama
mengejar Sunan Kudus.
200
orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten
Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus
dari kejauhan.
Sunan
Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan
prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging
mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di
sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap.
Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka
seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan
turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan
selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu
berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak
ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara
Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk
Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi
adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu
macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang
Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke
rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus
dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita
Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata
kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki
Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir
inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging
atau Pajang.
7. Sunan Drajad
Asal-usul
Nama
asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.
Raden
Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk
berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar
antara Tuban dan Gresik.
Raden
Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah
singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu
beliau tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan
hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti
dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara
kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan
menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke
tepi pantai.
Raden
Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga
berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat.
(tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah
mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya).
Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan
sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan
talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk
wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati),
kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat
setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden
Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung
kerabat keraton Majapahit.
Di
desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1
kilometer, di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun
tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut
Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang
dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di
sebelah barat Museum tersebut.
Raden
Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri.
Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin
oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam,
beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya
terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa
tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga
sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan
sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh
(buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan).
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau
belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang
yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun
dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing.
Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di
samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan
sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta
mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di
bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga
pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending
tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden
Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah
bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi,
yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat
dengan Allah swt.
8. Sunan Muria
Asal-usul
Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus,
ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran
dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau
pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah,
jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para
pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan
dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono
adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat
karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono
yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti:
Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya
Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang
dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati
keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang
cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun,
bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat
menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan.
Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan
gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu
berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak
pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang
dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti
itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu,
diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat
bahwa gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing.
Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk
Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak
Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar
Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu
semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng
Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela.
Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak,
maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali
ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan
kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi
harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi,
di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir.
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan
Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng
Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami
hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih
penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia
harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha
mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui
perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu
dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan
tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di
tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi
lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita
secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas
Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya
menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun
segera dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya
serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan
tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad
hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya
Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut
niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara
diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang
bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu
sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah…
yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa
menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini
biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain
bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut
Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia
dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri.
Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak
pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara
sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan
Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria
melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki
dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan
gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata,
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena
Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang
dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana
pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan
dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul
Dalam
usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak
muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya
bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa
ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban
Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya.
Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau
Gunungjati.
Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh
Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari
Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya
yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana
menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan
gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak
mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah
dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain
seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina
makin erat.
Bahkan
Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri
kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat
itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang
Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri
Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali
putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana
dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid
Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu
Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu
melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli
yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang
persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah
Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah
Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri
sudah semakin terhimpit.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka
ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang
jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro
tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu
Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk
menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil,
persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan
benteng yang kuat dim Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka)
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman
lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Pada
tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden
Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah
Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan
mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa
Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan
Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan
kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka,
tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu
sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan
Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran
cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para
pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui
kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang
bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking
ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan
merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat
tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan
Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam
lebih merata di Jawa Barat.
Kemenangan
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke.
Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat
putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua
dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon
sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat
sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran
dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun
sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal
dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan
Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar
Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya
bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah
menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan
Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun.
Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah
dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan,
tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan
Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di
sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu
pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping
itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan
gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang
mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah
dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima
waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang
sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan
Cina.
Di negeri
Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini
sudah masuk Islam.
Pada
suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie,
pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan
Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut
versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam,
beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di
rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali,
sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Kemudian Sunan Gunungjati shalat
di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau
dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah
shalat dan berdoa.
Ketika
beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak
lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga
sampai ke negeri Cina.
Di
negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang
berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat
mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai
shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
Kabar
adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar.
Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji
kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat
mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua
orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan
namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang
hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil
sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.
“Hai
tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan
Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing
mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!”
jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih
perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian
pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana
Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien
menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya
Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!”
Maka
gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien
telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu
benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar
munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan
Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun
Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati
maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan
Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar
Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke
Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang
berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik
itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang
menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah
salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri
Cina.
Dalam
pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka
merasa heran.
“Ada
apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.
Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya
sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di
atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana
Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang
bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan
Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari
penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa.
Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam
kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa
sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya
Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar.
Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah
berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau
Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang
ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke
Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia
menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat
sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang
meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama
kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan
lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal
dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara
itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa.
Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati
sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan
antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481,
tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika
anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda
merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina
lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.
0 komentar:
Post a Comment