Surya Majapahit (Matahari Majapahit) -Wikipedia |
sumpah palapa dan wilayah kekuasaan kerajaan majapahit
kerajaan majapahit adalah salah satu kerajaan besar terakhir di nusantara ini yang mewariskan banyak peninggalan yang dapat memaparkan kebesarannya NagaraKertagama dan para raton mencatat berbagai citra peradaban Wilwatikta tatakota trowulan yang di bangun dari terakota pelabuhan tuban dan penggalangan pembuatan kapal kanal-kanal pengairan dan sistem pertanian candi-candi dan tata perilaku masyarakat gajah mada mengumandangkan sumpah palapa yang merupakan konsep bhineka tunggal ika dari sumpah itulah Majapahit menenamkan pengaruh kekuasaan yang meliputi ujung Semenanjung malaya hingga bagian barat papua meskipun di warnai pemberontakan dan perpecahan pada setiap pemerintahan sejarah tidak akan melupakan kerajaan majapahit sebagai bagian dari peradaban nusantara yang gemilang.Patih Gajah Mada Dan sumpah palapa |
candi peninggalan kerajaan majapahit
Salah satu bukti peninggalan prasasti kerajaan majapahit yang mungkin bisa menjadi gambaran tentang tingginya peradaban di era akhir Majapahit ada di Candi Ceto. Konon Candi Ceto di yakini sebagai lokasi pelarian dan muksanya Raja Majapahit terakhir Brawijaya V. Nama Ceto sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti jelas, ada yang mengartikan jelas karena dari posisi Candi yang tinggi karena bisa melihat pemandangan tanpa terhalang. Jelas bisa juga di artikan sebagai pencapaian pencerahan dalam hidup berspiritual. Candi Ceto berlokasi di dusun Ceto Desa Gumeng Kecamatan Jendawi karang Anyar Jawa Tengah, Ceto memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Suku jaraknya pun berdekatan kurang lebih 11 kilometer saja bedanya Ceto posisinya lebih tinggi kira-kira 1.496 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan simbol-simbol tahun yang di ketemukan Candi Ceto di bangun pada 1475 Masehi beda 40 tahun dengan Candi Suku yang didirikan pada 1437 Masehi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa masyarakat membangunnya adalah masyarakat yang sama dari Majapahit.Candi Ceto |
Candi Ceto di temukan pertama kali oleh van de Vlies pada tahun 1842 kondisi candi pada masa itu hanya berupa reruntuhan batu pada 14 endapan bertingkat memanjang dari barat ke timur. Strukturnya berteras teras memunculkan dugaan adanya sinkretisme keyakinan asli nusantara dengan Hinduisme, pemugaran yang di lakukan oleh Sujono Humardani salah seorang kepercayaan Presiden Soeharto pada tahun 70an di duga banyak mengubah struktur asli candi.
Bangunan baru hasil pemugaran di antaranya adalah Gapura megah di depan candi bangunan pendopo dari kayu beberapa patung yang di sakralkan dan bangunan inti berbentuk kubus pada puncak punden.
Bangunan induk Candi Ceto nampak berbeda dari candi pada umumnya, Strukturnya mengadopsi punden berundak menepatkan bangunan suci utama di tempat tertinggi. Kesan adanya pemujaan terhadap roh nenek moyang pun semakin kuat, Candi candi di kawasan sekitar Gunung Lawu seperti Ceto dan Suku memang terkesan unik. Bentuknya yang nyaris sama dengan bangunan suci bangsa maya memunculkan banyak misteri yang tak terpecahkan.
Dahulu pada masa Orde Baru kompleks Candi Ceto hanya di manfaatkan oleh orang-orang tertentu saja. Sekarang para peziarah beragama Hindu dari Bali banyak berdatangan untuk melakukan pemujaan begitu pun juga bagi para penganut kepercayaan asli Jawa atau kejawen. Para pejiarah meyakini Candi Ceto adalah bangunan suci yang di wariskan para leluhurnya dari Majapahit.
Candi Ceto terdiri dari 9 teras, Teras pertama adalah halaman candi di posisi paling luar tempat di mana kita bisa menyaksikan indahnya pemandangan ke arah matahari terbenam. Beberapa arca penjaga dari batu diletakkan di depan gerbang bentuknya yang unik dan sosoknya yang tidak seperti dari Jawa menimbulkan beragam polemik di masyarakat. Di depan gerbang utama Candi Ceto terdapat arca yang tidak lazim pada umumnya seperti pada arca yang menggunakan penutup kepala hiasan telinga hingga hiasan tangan
Teras pertama terletak di sisi timur candi semakin ke barat posisinya semakin tinggi setiap teras di hubungkan oleh gerbang dan jalan setapak yang semakin kecil dan curam Filosofinya adalah untuk mencapai sebuah kesempurnaan spiritual di butuhkan perjuangan yang tidak mudah. Teras Kedua di percaya warga sebagai tempat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi leluhur masyarakat dusun Ceto. Lokasi ini biasanya di gunakan untuk persembahyangan awal pada saat memasuki kawasan Candi Ceto.
"Umumnya Candi-candi itu menghadap ke timur tetapi ini ada perbedaan sedikit dia menghadapnya ke barat dan di sini di sebabkan karena tempat pemujaannya itu menghadap ke atas ke num di mana orang-orang yang memuja candi ini berpendapat bahwa pada dewa itu bersemayam di atas gunung", ujar Dr. Agi Ginanjar Arkeolog.
Selanjutnya di teras ketiga, ada susunan relief batuan di atas tanah yang membentuk lambang-lambang tertentu jika di lihat dari teras di bagian atasnya hamparan batuan yang tersusun membentuk burung garuda yang membentangkan sayapnya. Dalam mitologi agama Hindu burung garuda di percaya sebagai kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia atas. Sementara susunan batu yang membentuk Kura-Kura adalah simbolisasi Dewa Wisnu yang melambangkan dunia bawah. Di bagian ujung kedua sayap garuda terdapat sebentuk simbol berbentuk matahari begitu pun di bagian kepala garudanya tanda-tanda ini jelas menujukan lambang Surya Majapahit. Penampakan simbol kesuburan dan proses penciptaan jiwa terlihat pada relief pertemuan Lingga dan Yomi yang cukup besar inilah yang membuat Candi Ceto sering kali dijuluki sebagai Candi Lanang atau Candi Laki-laki. Keberadaan Lingga dan Yoni dalam bangunan suci adalah simbolisasi dari sosok Dewa Siwa dan istrinya Dewi Uma, Lingga dan Yoni di sakralkan karena di anggap juga sebagai lambang kemakmuran.
Lokasi Candi Ceto memang jauh dari pusat kerajaan Majapahit Jawa Timur posisinya pun berada di ketinggian lereng Gunung Lawu Jawa Tengah sehingga sulit untuk di jangkau. Bisa jadi keberadaan Candi Ceto menjadi petunjuk adanya perpindahan sekelompok masyarakat ke lokasi yang lebih kondusif akibat perubahan politik yang terjadi di masa akhir kebesaran Majapahit.
Periode masyarakat membangun Candi Ceto di duga merupakan masa di mana pengaruh Hindu Siwa dan kepercayaan terhadap leluhur begitu kuat. Mereka membangun candi sebagai tempat peruatan dengan menampilkan cerita pewayangan seperti yang terdapat di teras keempat.
Salah satu relief peruatan pada Candi Ceto berupa kisah Sudamala, bercerita tentang Dewi Uma yang berubah menjadi sosok menyeramkan bernama Batarin Durga karena melanggar peraturan Dewa Siwa. Batarin Durga pun terpaksa harus menjalani hukumannya selama 12 tahun dan akhirnya terbebas kembali lewat bantuan Sadewa adik bungsu dari keluarga Pandawa.
"Dari relief yang ada baik di Suku maupun Ceto menujukan bahwa ada lengga tiga cerita Sudamala kemudian Narawuji dan ada juga cerita tentang kalau tidak salah itu lahirnya Bima jadi yang di ambil dari Mahabarata semuanya bersumber dari sana dari situ menujukan bahwa tradisi wayang atau cerita Mahabarata semakin populer pada pendidik sehingga simbol-simbol yang ada pada semua cerita wayang itu di reliefkan di candi-candi", ujar Dr. Sri Margana Sejarawan.
Relief Sudamala memberi petunjuk pasti tentang fungsi dari bangunan suci di Ceto tempat di mana di langsungkan upacara pemujaan yang ditujukan untuk membersihkan diri dari karma buruk untuk mencapai kesadaran.
Pada teras kelima dan enam Candi Ceto terdapat pendopo yang digunakan untuk beristirahat atau mempersiapkan upacara keagamaan. Nampak jelas bahwa pendopo ini adalah bangunan baru hasil renovasi. Naik ke teras ketujuh ada dua buah arca yang di percaya sebagai perwujudan dari tokoh Sapdo Palon dan Nayah genggong Keduanya adalah api dalem sekaligus penasihat spiritual Raja Brawijaya ke-v terdapat juga 2 bangunan tertutup yang biasanya di gunakan sebagai tempat melakukan semedi.
0 komentar:
Post a Comment